Sudah membaca buku kisah "Ainun dan Habibie" atau bahkan sudah menonton filmnya? Mungkin kebanyakan anda lebih tertarik dan tersentuh dengan kisah romantis kesetiaan sepasang suami istri, namun justru yang saya rasakan di sepanjang tulisan dalam buku dan film, adalah sebuah pertunjukan "peperangan" dari seorang anak bangsa kepada kebijakan pemerintahnya yang tidak berdaulat dan "tamparan" bagi budaya bangsanya yang tidak mandiri di atas tanah airnya sendiri.
TS contoh-kan, bagaimana tidak mandirinya indonesia yg menjadi budak ditanah airnya sendiri.
Pada paruh tahun 80an akhir, sosok Habibie menjelma menjadi idola dan simbol sosok intelektual yang shalih. Seorang intelektual yang mumpuni diakui dunia barat, yang secara material sudah kaya karena royalti dari rancangan sayap pesawat terbang yang terus mengalir seumur hidup, dan digambarkan sebagai sosok yang taat dan rajin beribadah, bahkan tidak pernah meninggalkan puasa sunnah hari Senin dan Kamis.
Pada masanya bahkan masih sampai kini, sosok ini menjadi model bagi banyak sekolah dan lembaga pendidikan Islam, dengan jargon "mencetak cendekiawan yang berotak Jerman dan berhati Mekkah". Beberapa pihak bahkan menyebut sekolahnya sebagai lembaga yang mencetak Ulil Albab. Bisa jadi karena sedikit banyak sosok Habibie waktu masa itu dianggap pantas sebagai model Ulil Albab dalam perspektif cendekiawan.
Begitulah, "ruh intelektual" dari sosok Habibie nampaknya lebih kental dikenal dari "ruh pejuang". Makna Ulil Albab pun menyempit menjadi makna seorang cendekiawan pandai yang memiliki kesalihan personal.
Efeknya adalah lahirlah konsep2 pendidikan Islam yang berupaya memadukan kedua sisi itu dengan nama "IMTAQ dan IPTEK", dengan ciri khas bergedung hebat, berorientasi mecusuar dan elitis alias terpisah dari masyarakatnya, sebagaimana pusat menara gading para intelektual.
Apa yang salah? Mungkin tiada yang salah, namun yang kurang adalah memunculkan "ruh perlawanan" untuk membebaskan bangsanya dari penindasan bangsa lain dan memperjuangkannya menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri. Sesungguhnya itulah esensi semangat dari Habibie muda.
Benarkah Habibie hanya seorang Intelektual atau Cendekiawan saja?
Sejak menginjakkan kaki di Jerman, yang ada di kepala Habibie adalah membuat pesawat untuk Indonesia, untuk mensejahterakan bangsanya, untuk keadilan sosial di negerinya. Hanya itu! Bukan sebagaimana cita2 para mahasiswa hasil gemblengan pendidikan berorientasi kelas pekerja, yaitu bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar.
Habibie muda sadar
dengan potensinya di masa depan. Ia mendatangi pemerintah dan menawarkan
untuk membangun Industri Pesawat sendiri. Mental demikian mustahil
lahir dari jiwa2 yang tidak merdeka dan tidak mencintai Indonesia.
Soekarno dan
pemerintahannya tidak mendengar jelas suara itu. Maka, habibie muda
melakukan perlawanan. Ia bekerja di negeri Jerman, hasil karyanya begitu
dihargai. Bahkan sindiran2 tentang Indonesia, seakan sirna dengan
karya-karya yang dibuat oleh Habibie.
Rezim Soekarno berubah
menjadi Rezim Soeharto. Nama habibie yang sudah meroket di luar negeri,
membuat ketertarikan rezim pemerintahan Soeharto. Yang ingin dilakukan
Soeharto adalah menjadikan Indonesia menjadi macan di asia. Maka, ia
membutuhkan hal2 yang mendukung itu. Teknologi salah satunya.
Habibie pun dipanggil.
Dia diminta memimpin proyek industri transportasi Indonesia. Lagi-lagi
habibie, melihat jeli masa depan Indonesia yang jaya. Ia yakin benar,
bila Industri Strategis dikembangkan sedemikian rupa, maka Indonesia
yang terdiri atas 17.000 kepulauan ini berubah menjadi pesat. Mantan
ketua umum ICMI ini, menyadari bahwa selaiknya potensi besar negeri ini
disadari.
Visi Habibie terhadap
teknologi adalah agar bangsa ini berdaulat, agar pulau2 terpencil bisa
terhubung dan sejahtera, agar putra bangsa bisa membuat sendiri pesawat
yang murah namun canggih sesuai kebutuhan bangsa ini. Bandingkan dengan
visi teknologi dari mobil nasional, robot nasional dsbnya yang hanya
berorientasi industri semata.
“I have some figures
which compare the cost of 1kg of airplane compared to 1kg of rice. 1kg
of airplane costs $30000 and 1kg of rice is $0,07. And if you want to
pay for your 1kg of high-tech products with a kg of rice, I don’t think
we have enough.” (Sumber : BBC: BJ Habibie Profile -1998.)
Kalimat diatas merupakan
senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan politiknya. Habibie ingin
menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan ia
membandingkan harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi)
dengan hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat
terbang adalah $30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen. Artinya 1 kg pesawat
terbang hampir setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah
pesawat dengan massa 10 ton, maka akan diperoleh 4,5 juta ton beras.
Jadi Habibie
sungguh-sungguh menginginkan bangsa ini berdaulat, bukan sekedar
mempelajari dan membuat teknologi yang tidak ada kaitannya dengan
kondisi bangsa kini dan masa depan.
Proyek pesawat terbang,
gatotkaca mengguncang dunia. Barat melalui media, berupaya melunturkan
semangat kebangkitan Indonesia. Bahkan, Soeharto yang arogan itu, kini
menjadi musuh masa depan bagi Kapitalisme Eropa dan Amerika.
Dikisahkan, kritik
terhadap permainan Korupsi terlihat. Bagaimana mudahnya cara-cara tender
kotor sering dilakukan. Habibie mengkritik itu semua. Siapa yang tidak
tahu semua Partai dan Pengusaha menghalalkan konspirasi tender proyek
pemerintahan untuk logistik pemilu mereka.
Jujur, Indonesia tidak
pernah kekurangan para Teknokrat yang memiliki kapasitas keilmuan di
atas teknokrat barat. Indonesia memliki pula para Politikus ulung yang
bersahaja, taqwa bahkan jenius dalam membuat kebijakan pro-rakyat.
Indonesia memiliki para ahli kesehatan yang sangat konsen dalam
menyelesaikan krisis kesehatan dan penyakit. Bahkan, bila diberikan
keleluasaan dan peluang bisa jadi Obat HIV/AIDS itu dapat ditemukan.
Potensi Indonesia ini
begitu besar. Sangat besar sebesar luasnya wilayah teritorial Indonesia.
Inilah pentingnya ruh perjuangan dan pembebasan atas penindasan dan
penguatan kemandirian bangsa ditanamkan di sekolah-sekolah. Lihatlah
bagaimana ruh intelektual berpadu dengan ruh pembebasan atas penindasan
ini nampak pada sosok HOS Cokroaminoto, Ahmad Dahlan, Ki Hadjar
Dewantoro, M. Hatta, Kartini dsb.
Alangkah jahatnya (bukan
lucunya) para pemimpin negeri ini. Mereka kurang bersahabat dengan
nurani dan tidak mensyukuri karunia ilahi atas Indonesia. Politik kotor
telah jadi kebiasaan dan dihalalkan atas nama kepentingan kelompok.
NeoKapitalisme telah subur dan mencengkram. Diperparah oleh sekolah dan
lembaga pendidikan yang hanya berorientasi melahirkan intelektual atau
kelas pekerja. Padahal sejatinya pendidikan melahirkan jiwa-jiwa
pembebas penindasan negeri ini melalui beragam potensi yang dimiliki
anak-anak Indonesia, teknologi adalah salah satunya.
Alhasil, sampai kapanpun
maka Indonesia akan jalan ditempat. Kita tidak sekedar butuh banyak
habibie baru, tetapi mereka yang berani berkata benar, memberikan
kemampuannya dengan keseriusan dalam membangun negeri, dan tentu negeri
yang besar tidak akan melupakan Tuhannya. Maka, sepatutnya lahir para
birokrat, politikus, teknokrat, ilmuwan dan akademisi serta kaum muda
yang mau berjuang untuk membebaskan negeri ini karena Allah SWT
Lihatlah bagaimana
Habibie dengan kecintaannya pada Technology berhasil memadukannya dengan
kecintaan pada Indonesia, kecintaan pada bangsa Indonesia dan kecintaan
pada keluarganya. Semuanya adalah karunia Allah swt yang mesti
disyukuri secara terpadu dengan perjuangan sampai mati. Bukan kecintaan
pada kelompok dan golongan, dengan mengatasnamakan cinta pada Indonesia.
Kita semua yang masih
mencintai negeri ini tentu merasa sedih dan terpukul ketika menyaksikan
Habibie ditemani Ainun masuk ke dalam hanggar pesawat di PTDI,
menyaksikan pesawat CN235. karya anak bangsa yang diperjuangkan dengan
jiwa dan raga, teronggok bagai besi tua. Tiada yang berteriak membela,
tiada yang peduli. Semua bungkam masa bodoh. Sambil memegang tangan
Ainun, Habibie berkata: "Maafkan aku untuk waktu-waktu mu dan anak-anak
yang telah kuambil demi cita-cita ini"
Sesungguhnya kita tidak
sedang menangisi Habibie, tetapi sesungguhnya kita seolah sedang
ditampar oleh Habibie, kita sedang menangisi diri sendiri, menangisi
ketidakmampuan kita untuk menjadi seperti Habibie atau membuat
pendidikan yang banyak melahirkan Habibie.
Menjadi seperti Habibie,
bukan untuk menjadi intelektual seperti Beliau, namun untuk memiliki
cinta murni yang sama, yaitu Cinta pada potensi unik pribadi kita, Cinta
pada Bangsa ini, Cinta pada Alam Indonesia, Cinta pada Keluarga, Cinta
pada Allah Swt, Cinta pada semua karunia yang ada lalu kemudian
memadukannya dalam Perjuangan di Jalan Allah untuk membebaskan bangsa
dan manusia demi Peradaban yang lebih adil dan damai. Habibie
menyebutnya keterpaduan ini dengan Manunggal.
Habibie berkata:
”Manunggal adalah
”Compatible” atau kesesuaian, Karena dalam cinta sejati terdapat empat
elemen berupa, Cinta yang mumi, cinta yang suci, cinta yang sejati dan
cinta yang sempurna